“Shalat tak ubahnya seperti alarm untuk membangunkan,
sebuah peringatan pada jam-jam yang berbeda-beda di waktu siang dan malam, yang
menyediakan program bagi manusia, dan menuntut tanggung jawab atas
pelaksanaannya, sehingga siang dan malam menjadi bermakna dan menjadikan
dirinya bertanggung jawab atas waktu-waktu yang telah dilaluinya”
Shalat dan
doa merupakan komunikasi paling intim antara manusia dan Tuhan, antara makhluk
dan Sang Pencipta. Shalat melimpahkan kelezatan dan ketenangan kepada hati yang
lelah, resah dan gelisah, sekaligus merupakan hakikat penyucian batin dan
pancaran cahaya bagi jiwa manusia.
Ia sebuah
komitmen, motivasi untuk bertindak, pengerahan diri, dan permakluman untuk
berserah diri—dengan cara yang paling tulus, jauh dari tipu daya dan angan—,
untuk mengingkari segala macam kejahatan dan kebobrokan, dan pada saat
bersamaan untuk menegaskan segala kebaikan dan keindahan. Ia sebuah program
menemukan jati diri, dan selanjutnya program penyucian diri secara terus
menerus. Atau ringkasnya, ia hubungan tak ternilai yang tak henti-hentinya
mengalirkan manfaat dengan mata air segala kebaikan, yakni Tuhan Yang
Mahaagung.
Mengapa shalat dipandang sebagai kewajiban paling
penting dan utama? Mengapa shalat dilukiskan sebagai fondasi dan dasar
keimanan? Kenapa tanpa shalat tak ada amal yang dapat diterima? Untuk menemukan
jawaban ini, mari kita menganalisa dan menilai beragam aspek dan dimensi shalat.
Untuk memulainya, sudah selayaknya kita fokus pada maksud dan tujuan di balik
penciptaan manusia, yang dipandang sebagai salah satu poros utama di
dalam pandangan-dunia Islam.
Jika manusia adalah makhluk ciptaan, dan kita percaya
bahwa satu tangan yang kuasa dan bijak telah menciptakannya menjadi ada,
sungguh logis berpikir bahwa pasti ada beberapa maksud dan tujuan di balik
penciptaan makhluk ini. Tujuan ini katakanlah: mencari jalan yang mengantar
pada tujuan akhir atau Tuhan; menempuh jalan itu menurut peta akurat dan
alat-alat lainnya, hingga akhirnya mencapai tujuan akhir yang diinginkan.
Dalam hal ini sungguh penting menemukan jalan
tersebut, menentukan rute serta selalu mengingat tujuan yang hendak dicapai.
Seseorang yang melangkah mengawali perjalanan ini harus berjalan mantap ke
depan, tak henti-hentinya mengingat tujuan akhir, tak boleh teralihkan oleh
berbagai godaan yang menghadang atau lalai melakukan berbagai perbuatan
sia-sia; dan terus menjaga posisi yang benar mengikuti arah tujuan, dan tidak
menyimpang dari petunjuk yang telah ditetapkan oleh Pemimpinnya (Nabi Muhammad
Saw).
Tujuan itu, tak lain adalah sebuah langkah manusia
menuju keagungan dan kesempurnaan tak terbatas. Sebuah perjalanan kembali
kepada Allah dan kepada sifat-sifat fithri. Yakni perjalanan untuk
menemukan kemampuan dan potensi alami di dalam diri lalu menggunakannya di atas
jalan kebaikan, demi kesejahteraan diri sendiri, sesama dan juga seluruh dunia.
Karena itu, kita mesti mengenal eksistensi Allah dan jalan yang telah dirancang-Nya
untuk keagungan manusia, dan mesti bergerak ke arah keagungan itu, tanpa ragu
dan lesu.
Untuk memikul tugas-tugas ini, yang mengantarkan pada
tujuan, putuskan diri dari hal-hal yang berbahaya dan merugikan, pancangkan
makna pada hidup ini, sesuatu yang harus menjadi falsafah hidup—jika tidak maka
kehidupan akan terasa hampa dan sia-sia. Dengan kata lain, hidup ini tak
ubahnya seperti sebuah kelas atau laboratorium di mana kita harus bertindak
sesuai dengan hukum dan rumus-rumus yang telah digariskan Allah untuk kita,
Sang Pencipta dunia dan semua kehidupan, demi mencapai dan memperoleh sebaik
mungkin hasil yang diinginkan.
Kita harus mengenal hukum-hukum ini, yakni
ajaran-ajaran Allah beserta sunnatullah-Nya (hukum-hukum alam yang telah
ditetapkan-Nya), dan membentuk kehidupan kita menurut hukum-hukum itu. Karena
itu, pertama-tama kita harus mengenal diri kita sendiri, dan berbagai
kebutuhannya, yang dianggap sebagai salah satu tanggung jawab dan kewajiban
terbesar umat manusia. Hanya setelah menunaikan tugas besar inilah manusia akan
mampu bergerak maju dengan mantap dan sukses, jika tidak pasti ia
akan dianggap malas, acuh tak acuh dan gagal.
Agama tidak hanya menentukan arah dan tujuan, jalan
dan rute perjalanan, tetapi juga menganugerahi manusia kekuatan yang dibutuhkan
dan bekal saat menempuh jalan menuju kesempurnaan; tentunya bekal paling
penting yang harus dibawa oleh sang musafir di jalan ini tak lain adalah
“mengingat Allah”.
Sayap-sayap kokoh penerbangan ini adalah pencarian,
harapan dan keyakinan, yang tak lain merupakan hasil dari “mengingat Allah” itu
sendiri. Di satu sisi ia menjadikan kita sadar akan tujuan mempertautkan diri
pada-Nya Kesempurnaan Mutlak dan pada saat yang sama mencegah penyimpangan, dan
menjaga sang musafir tetap waspada dan hati-hati dari berbagai jalan dan cara.
Di sisi lain, ia melimpahkan keberanian, kebahagiaan dan kepercayaan ke dalam
diri serta melindunginya dari gangguan dan frustasi, ketika menghadapi keadaan
kejam dan kasar.
Masyarakat Islam, dan setiap kelompok atau individu,
dapat bergerak mantap di jalan yang telah dipetakan Islam dan dipraktikkan oleh
semua nabi, tanpa harus berhenti atau berbalik mundur saat sudah berada di
tengah perjalanan; hanya jika mereka tidak lupa mengingat Allah. Karena pertimbangan
inilah Islam berusaha dengan sebaik-baiknya memberikan berbagai jalan dan cara
untuk tetap menghidupkan “mengingat Allah” di dalam hati orang-orang mukmin
sepanjang waktu.
Satu jalan demikian, yang sepenuhnya terisi dengan
motivasi mengingat Allah, dan yang memampukan manusia menenggelamkan diri di
dalamnya, membuatnya sadar dan menemukan diri, dan yang berperan sebagai tanda
petunjuk jalan bagi mereka yang menempuh jalan Allah, yang mencegah mereka dari
labirin kelalaian dan berdiri termangu di tengahnya, tidaklah lain
melainkan shalat.
Manusia, karena keasyikannya, tidak mempunyai
kesempatan untuk berpikir atau memikirkan dirinya, tentang tujuan hidupnya, dan
tentang berlalunya waktu, jam dan hari. Sangat sering, siang berganti malam,
hari baru dimulai dan minggu serta bulan berlalu begitu saja tanpa seseorang
memiliki kesempatan untuk menyadari berlalunya waktu, maknanya dan
kesia-siaannya.
0 komentar:
Posting Komentar