Tersebutlah Zaid bin Haritsah, seorang anak laki-laki berusia delapan tahun.
Postur tubuhnya pendek, hidung pesek dan warna kulitnya agak gelap.
Bukan faktor kondisi fisik yang membuatnya terkenal, melainkan karena
kesabaran dan kehebatannya menghadapi cobaan.
Ibunya
bernama Su’da, sedangkan ayahnya bernama Haritsah. Su’da sudah lama
ingin mengunjungi kerabatnya di kampung Bani Ma’an. Namun Haritsah tak
bisa mengantar karena banyak urusan. Untunglah ada rombongan pedagang
yang hendak kesana, maka ayah Zaid bisa menitipkan istri dan puteranya.
Su’da
dan Zaid bin Haritsah sampai dengan selamat ke tujuan. Keluarganya di
Bani Ma’an menyambut gembira. Apalagi Zaid bin Haristah sangat lincah,
selalu ceria berlarian ke sana-ke mari. Namun kegembiraan penduduk
kampung itu musnah karena serangan gerombolan perampok. Kekacauan pun
terjadi dimana-mana, ibu-ibu dan anak-anak menjerit-jerit ketakutan.
Gerombolan
perampok menghunus senjata tajam. Pria-pria jahat itu membunuh siapa
pun yang melawan. Hingga penduduk kampung Bani Ma’an tak berdaya membela
diri. Perampok itu merampas harta benda dan juga menawan beberapa orang
penduduknya. Seorang pria sangar menangkap Zaid.
“Tolong….! Tolong…! Lepaskan aku!” teriaknya sambil meronta-ronta.
“Tolong….! Tolong…! Lepaskan aku!” teriaknya sambil meronta-ronta.
Tetapi
penculik itu bertubuh besar, tenaganya juga sangat kuat. Zaid menjadi
lemah kelelahan dan tak bisa lagi melawan. Pria jahat itu berhasil
memaksa Zaid naik kuda, lalu melarikannya jauh-jauh.
“Lepaskan
anakku! jangan culik dia!” Su’da berteriak-teriak. Tapi penculik itu
tak punya belas kasihan. Dia semakin cepat menunggang kuda, meninggalkan
Su’da yang menangis tersedu-sedu. Dengan kesedihan mendalam, Su’da
mengadu pada suaminya. Ayah Zaid langsung pingsan, mendengar kabar buruk
itu. Ketika siuman, Haritsah menjerit, “Oh Zaid! Malang sekali nasibmu
anakku. Kamu masih kecil sudah menderita.”
Haritsah
sangat mencintai putera kecilnya dan memulai perjalanan mencari Zaid.
Haritsah menyandang buntelan di bahunya, menjelajahi padang pasir,
memasuki kampung demi kampung dengan membaca syair sedih:
Ku tangisi Zaid, ku tak tahu apa yang telah terjadi
Dapatkah ia diharapkan hidup, atau telah mati?
Demi Tuhan aku tak tahu, sungguh aku hanya bertanya
Apakah di lembah ia celaka, atau di bukit ia binasa?
Di kala matahari terbit ku terkenang padanya
Bila surya terbenam ingatan kembali menjelma
Tiupan angin yang membangkitkan kerinduan pula
Wahai, alangkah lamanya duka nestapa,
Diriku jadi merana
Setiap
bertemu orang, dia selalu menanyakan keberadaan puteranya. Tapi tak
seorang pun yang mengetahui. “Oh Zaid! Ke mana lagi ayah akan
mencarimu,” ungkap Haritsah.
Sementara
itu Zaid dipaksa menempuh perjalanan sangat jauh, dan tiap sebentar
dirinya dibentak dan disakiti. Ternyata penculik membawa Zaid ke Mekah
yang saat itu dikuasai kafir Quraisy, disana perbudakan masih terjadi.
Penculik
membawa Zaid ke pasar Ukaz dan menjajakannya. “Ayo beli! Ayo beli! Anak
ini akan saya jual.” Hakam bin Hazm datang membeli Zaid. Lalu Hakam
menghadiahkan Zaid pada seorang perempuan bernama Khadijah binti
Khuwailid. Ya, benar! Dia adalah istri dari Nabi Muhammad Saw. Kemudian
Khadijah menghadiahkan Zaid kepada suaminya.
Nabi
Muhammad menerima Zaid dengan gembira. Beliau berkata, “Anak baik, kamu
tak pantas menjadi budak. Sekarang aku telah memerdekakanmu, bahkan
kamu boleh tinggal di rumahku.” Alangkah leganya hati Zaid karena
statusnya bukan lagi budak yang hina. Kini, ia mendapat kehormatan
tinggal bersama Nabi Muhammad. Kebaikan Rosululloh dan Khadijah membuat
Zaid betah tinggal di sana, hampir saja dia lupa dengan ayah dan ibunya.
Rosululloh
mengasuh Zaid dengan penuh kasih sayang. Zaid pun diajar berbagai ilmu
pengetahuan yang bermanfaat. Dia juga seorang anak yang berbakti yang
cekatan membantu berbagai pekerjaan rumah, hingga Rosululloh dan
Khadijah makin sayang padanya.
Pada
musim haji, banyak orang menziarahi ka’bah di Mekah. Diantara peziarah
itu ada yang mengenali Zaid. Mereka bersorak gembira, “Wahai Zaid,
syukurlah kamu sehat saja. Bagaimana kabarmu? Ayah dan Ibumu sangat
rindu.” Zaid pun terharu dan teringat dengan orangtuanya. “Tolong
sampaikan pada ayah ibu bahwa aku baik-baik saja. Kini aku baik-baik
saja. Kini aku tinggal bersama manusia paling mulia. Dia menyayangiku
sepenuh kasih sayang,” pesannya.
Kabar
baik itu sampai pada orangtuanya. Haritsah segera menemui Nabi
Muhammad, “Wahai pria yang terhormat! Tuan terkenal suka membebaskan
orang tertindas. Kedatangan kami untuk meminta puteraku kembali. Zaid
korban penculikan orang jahat. Sudilah membebaskannya kembali pada kami,
dan terimalah uang tebusan yang telah kami siapkan ini.”
Nabi
Muhammad tidak mau menerima uang tebusan sebab beliau sudah
memerdekakan Zaid dari perbudakan. Tetapi Nabi Muhammad juga sulit
memutuskan, sebab Zaid sudah terlanjur bahagia tinggal bersamanya.
Rosululloh berkata pada Haritsah, “Kita serahkan saja pada Zaid untuk
memilih sendiri. Jika Zaid memilih ayahnya, maka aku akan
mengembalikannya tanpa tebusan. Tapi, bila Zaid memilih tinggal
bersamaku. Aku tak akan menyerahkan orang yang telah memilihku!”
Haritsah
menerima tawaran Rosululloh. Lalu Nabi Muhammad bertanya, “Wahai Zaid,
apakah kamu mengenal kedua laki-laki ini?” Zaid menjawab, “iya, mereka
adalah ayah dan pamanku.” Kemudian Zaid dipersilahkan membuat keputusan.
Ingat! Saat itu usia Zaid baru sekitar delapan tahun. namun dia harus menentukan masa depannya sendiri, tentu keputusan itu harus dibuat dengan pikiran serius.
Zaid
berkata pada Nabi Muhammad, “Engkau adalah pilihan terbaikku!” akhirnya
Zaid memilih tinggal bersama Rosululloh. Haritsah pun merelakan, sebab
itu sudah menjadi pilihan anaknya sendiri.
Nabi
Muhammad terharu mendengar pilihan Zaid, kemudian membimbingnya menuju
Ka’bah. Nabi Muhammad mengumumkan Zaid sebagai anak angkatnya. Sejak itu
penduduk Mekah menyebutnya Zaid bin Muhammad. Peran Zaid pun menjadi
semakin penting sebagai murid istimewa Rosululloh yang menuntut ilmu di
madrasah Nabi.
Beberapa
waktu kemduian turunlah wahyu pertama dan Zaid langsung memeluk agama
Islam. Meski ketika itu dia masih kanak-kanak namun pemikirannya sudah
cerdas. Zaid telah mengetahui agama yang benar dari Alloh. Zaid seorang
anak yang jujur. Hati, lidah dan tangannya terpelihara dari segala
perbuatan yang buruk. Para sahabat nabi memanggilnya ‘Zaid kesayangan’.
Kemudian Zaid tumbuh menjadi pemuda dewasa yang bertubuh kuat dan gagah
berani. Zaid seringkali membela agama di medan perang. Bila dia ikut
berperang, maka Rosululloh akan menunjuknya menjadi komandan.
Demikianlah besarnya kepercayaan Nabi Muhammad kepadanya.
Suatu
ketika pasukan Romawi mengancam di perbatasan. Keadaan itu membahayakan
keselamatan umat islam. Maka Rosululloh menyiapkan pasukan islam yang
akan diberangkatkan menuju perang Mut'ah. Perang ini sangat berat karena
pasukan Romawi berjumlah sangat banyak dengan persenjataan yang
canggih. Tapi kaum muslimin tidak gentar. Apalagi Rosululloh memilih
komandan yang tangguh, yaitu Zaid bin Haritsah.
Ketika
itu tahun ke delapan hijriah, tepatnya di bulan Jumadil Ula, perang
yang tak seimbang terjadi. Zaid bin Haritsah bertempur dengan gagah
perkasa. Dia menyemangati pasukannya berjuang membela agama dan tanah
air. Tetapi jumlah pasukan musuh memang terlalu banyak, Zaid bin
Haritsah pun mati syahid di medan tempur. Dia wafat sebagai pahlawan
yang mulia dan dimakamkan tak jauh dari lokasi perang.
Pengorbanan
Zaid bin Haritsah tidak sia-sia, sebab pasukan islam semakin
bersemangat memerangi tentara Romawi. Akhirnya pertempuran bisa
diselesaikan. Umat islam memakai taktik yang jitu, hingga bisa
melepaskan diri dari jebakan pasukan Romawi. Nabi Muhammad sangat bangga
punya murid sehebat Zaid. Anak korban penculikan itu telah menjadi
pahlawan agama dan negara dan dijanjikan surga oleh Alloh.
Gambar dipinjam dari: http://bumgembul.blogspot.com/2007/08/aku-zaid-bin-haritsah.html
Sumber cerita: Buku pendidikan ‘Super Teacher Super Student, 7 Jalan Mukjizat Menciptakan Pendidikan Super’.
Oleh: Humas Salimah Kabupaten Bulungan
0 komentar:
Posting Komentar