17 Motivasi Berinteraksi dengan Al-Quran Karya Abdul Azis Abdur Rauf, Al-Hafidz, Lc

  Jika Allah berkehendak apa yang mustahil bagi-Nya. Demikian pula dengan kehendak Allah atas diri manusia, tiada daya upaya yang mampu mengalahkannya. Yang terbayangkan ketika membaca judul di atas “berinteraksi” berarti terdapat hubungan timbal balik antara Al-qur’an dengan diri kita. Sederhananya, ketika melihatnya kita tertarik untuk membacanya, ketika membacanya kita tertarik untuk memahaminya, ketika memahaminya kita tertarik untuk mengamalkannya. Demikianlah ketika interaksi yang intens dibangun terhadap Al-qur’an semua perbuatan, pola pikir, dan semua aktivitas keseharian kita tidak akan lepas dari koridor yang ditentukan. Seperti bus trans jakarta yang tak keluar dari jalur yang ditentukan.
Membangun “interkasi” dengan Al-qur’an tidak cukup dengan “niat” saja, tapi berawal dari niat inilah semua amalan kita dihisap kelak. Jadi untuk membiarkan diri kita memulai dengan interaksi ini diperlukan niat, walalupun awalnya terpaksa lama-lama jadi terbiasa juga.

Dalam buku ini menjelaskan bagaimana seorang pelajar atau aktivis dakwah berkeluh kesah betapa susahnya memulai hidupnya bersama Al-qur’an. Coba kita cek dulu aktivitas sehari-hari kita, sejak bangun tidur kita sudah disibukkan dengan urusan dunia, kuliah, kerja part time, ngurusin rumah, rapat, dan segala kegiatan lainnya. Kira-kira berapa banyak kita menyempatkan diri untuk menyapa Al-qur’an???? Lantas, gimana bisa berinteraksi jika kita tak menyempatkan diri ke majelis dzikir atau menyempatkan diri untuk belajar tentang Al-qur’an. Akibatnya, bagaimana kita tahu apa yang kita sampaikan adalah kebenaran jika kita tak sungguh-sungguh untuk memperdalam ilmu tentang Al-qur’an. Menurut buku ini, untuk memulai berinteraksi dengan Al-qur’an perlu memulai aktivitas berikut:

  1. Rajin membacanya.
  2. Rajin mengkaji isi dan ilmunya.
  3. Hidup dalam suatu kondisi dimana aktivitas, upaya, sikap, perhatian, dan pertarungan sebagaimana konsisi di mana Al-qur’an pertama kali diturunkan.
  4. Hidup bersama Al-qur’an dengan sepenuh hati dan berkeinginan untuk beraktivitas melawan tradisi jahiliyah yang saat ini menyelimuti seluruh sendi kehidupan.
  5. Membangun nilai-nilai Al-qur’an di dalam dirinya, masyarakatnya dan seluruh umat manusia.
  6. Siap menghadapi dan memberantas segala macam pemikiran jahiliyah serta tradisinya di dalam realitas kehidupan. 
Dalam perjalannya memulai kehidupan bersama Al-qur’an tentu saja tak sedikit godaan yang datang. Jika kita terbiasa digoda oleh prajurit sekarang, saat kita memulai mencoba berinteraksi dengan Al-qur’an kita akan digoda oleh para jenderal. Lantas apa yang harus dilakukan???? Modalnya adalah keimanan yang kuat.
sesungguhnya hanyalah orang-orang yang beriman yang apabila disebut nama Allah bergetar hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat Al-qur’an bertambahlah iman mereka dan hanya kepada Tuhan mereka bertawakkal.” (QS. Al-Anfal: 2)
Karena berinteraksi dengan Al-qur’an (baik itu tilawah, menghapalnya, atau memahaminya) merupakan kegiatan imani, maka diperlukan langkah-langkah untuk terus membangkitkan keimanan kita.
  1. Mulailah belajar tentang Islam.
  2. Lanjutkan dengan mengamalkan ilmu yang telah dipelajari agar iman kita meningkat.
  3. Mulailah dari amal shaleh yang paling utama, yaitu shalat lima waktu. Jika telah mampu, mulailah untuk shalat berjamaah di mesjid. Jika telah mampu pada tahap ini cobalah untuk khusyu’.
  4. Lanjutkan dengan mengerjakan shalat sunnah  qobliyah dan ba’diyah.
  5. Bangunlah iman yang lebih tinggi dengan mulai mencoba shalat sunnah di waktu malam.
  6. Kemudian laksanakan ibadah qauliyah (yang diucapkan) berupa istighfar, tasbih, tahmid, tahlil, atau mengamalkan bacaan al-ma’tsurat di waktu pagi dan petang.
  7. Terakhir, tingkatkan keimanan yang sifatnya lebih konstributif seperti, infak dan sedekah.
Kegiatan ini akan membantu kita untuk meningkatkan keimanan menuju pensucian jiwa. Al-qur’an yang suci hanya akan bertemu dan bersatu dengan orang-orang yang berusaha menyucikan dirinya melalui proses peningkatan keimanan kepada Allah SWT.
“sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang di jalan Allah lalu mereka membunuh atau terbunuh. Itu telah menjadi janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil, dan Al-qur’an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya selain Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar.” (Qs. At-Taubah: 111)

           Ayat inilah yang telah memberikan semangat yang luar biasa kepada para sahabat Nabi untuk berjuang pada masa itu. Surga yang dijanjikan itu pasti,,, Demikian pula dengan kenikmatan yang telah kita miliki untuk belajar, membaca, mengajarkan, menghapal Al-qur’an adalah kenikamatan yang luar biasa. Lantas, bagaimanakah kita bisa bertahan dalam waktu yang lama hingga akhir hayat kita? Disaat kita juga belum merasakan manfaatnya berinteraksi dengan Al-qur’an baik di dunia maupun dia akhirat. Keyakinan apa yang membuat kita bisa bertahan dalam waktu yang lama sementara kita khawatir untuk tidak cukup bertahan lama dengan kegiatan ini? Sejarah mengajarkan kita sebuah perjuangan, dibaliknya kita mampu menggali dan mengambil pelajaran untuk dijadikan contoh dalam menambah motivasi kita untuk tetap bertahan pada kebersamaan kita dengan Al-qur’an. Petiklah hikmah dari perjuangan seseorang yang begitu bersemangat untuk mempelajari Al-qur’an, seperti Abdullah bin Mas’ud Ra, yang siap belajar Al-qur’an walaupun harus menempuh perjalan yang sangat jauh selama berbulan-bulan, serta menghabiskan harta yang tidak sedikit, hanya untuk sebuah ayat yang belum diketahuinya.
Bandingkan dengan kita hari ini, yang begitu mudahnya mendapatkan mushaf, belajar di pesantren, atau mendatangkan guru private untuk belajar Al-qur’an. Masihkah ada penghalang untuk memulai belajar Al-qur’an??? carilah motivasi dari orang lain yang dengan segala keterbatasannya ternyata memiliki semangat yang tinggi dalam mempelajari Al-qur’an.
Adakah rasa kita terlalu lama dalam tilawah? Terlalu lama dalam membaca terjemah? Atau terlalu lama dalam menghapal? Ini merupakan bentuk dari was-was yang coba dihembuskan oleh syaitan di setiap pendengaran, penglihatan, pikiran dan hati kita. Untuk itu berdoalah, “apabila kamu membaca Al-qur’an, hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syetan yang terkutuk.” (Al-Anfal: 98)
Jangan dikira ketika kita telah berinteraksi dengan Al-qur’an kita akan dengan mudahnya bercengkrama dengan Al-qur’an. Pastinya, syetan tetap akan membisikkan hasutan-hasutannya di telinga kita berupa rasa was-was. Bentuk was-was syetan kepada manusia yang mendedikasikan dirinya untuk Al-qur’an, yaitu:
  1. Was-was syetan bagi pengajar Al-qur’an
Pengajar akan digoda dengan “berhentilah mengajar Al-qur’an, karena kegiatan ini tidak akan menjanjikan kekayaan. Kita akan hidup dalam kemiskinan....”. Yakinlah bahwa pemberi rezeki yang sesungguhnya hanyalah Allah SWT., bukan manusia.
  1. Was-was syetan bagi pembaca Al-qur’an
Godaan bagi pembaca Al-qur’an adalah sering menunda-nunda bagian juz yang harus di baca pada hari itu. Kalupun sudah memulai membaca, ada was-was perasaan sudah terlalu lama bersama Al-qur’an, atau tidak berkonsentrasi, atau harus mengerjakan tugas-tugas lain yang belum diselesaikan. Begitu juga was-was seakan-akan tidak ada waktu untuk tilawah Al-qur’an.
  1. Was-was syetan bagi penghapal Al-qur’an
Pada umumnya godaan itu berupa perasaan bahwa aktivitas menghafal Al-qur’an tidak seindah seperti yang dibayangkan. Godaan lainnya adalah perasaan pesimis bahwa dirinya mampu menghafal Al-qur’an dengan baik. Untuk itu, saat mulai menghafal galilah motivasi apa kita memulai menghafal sehingga terngiang ditelinga kita ketika kita mulai merasa was-was. Agar kita segera kembali menghafal dengan penuh keyakinan. Bersegeralah bergaul dengan orang-orang yang sedang menghafal Al-qur’an dan memperbanyak amal saleh.
  1. Was-was syetan bagi yang memahami Al-qur’an
Ketika kita ingin memulai memahami Al-qur’an dengan membaca tafsirnya bentuk was-was yang dihembuskan oleh syetan adalah keinginan kita yang berubah-ubah. Saat membaca tafsir, tiba-tiba keinginan kita berubah mejadi ingin bertilawah. Demikian pula sebaliknya saat sedang tilawah tiba-tiba keinginan kita berubah ingin membaca tafsir. Sadarilah bahwa hakikat berinteraksi dengan Al-qur’an harus terpadu antara membaca, menghafal, dan memahami dan juga memiliki waktu-waktu yang terbagi secara baku. Seperti contoh yang disampaikan oleh Syeikh Abdul Fattah Al-Khalidi “dalam 24 jam, harus ada waktu 1 jam untuk tilawah, 1 jam untuk tahfizh, dan 1 jam untuk memahami”.
Selanjutnya sudah siapkah kita bekerja keras dan berlama-lama dalam berinteraksi dengan Al-qur’an? Hadis berikut mengajarkan kita dalam hal ini:
Hudzaifah Ibnul Yaman menjelaskan pengalamannya dalam bermujahadah bersama Rasulullah. "pada suatu malam aku shalat bersama Rasulullah. Maka Rasulullah mulai dengan membaca surah Al-Baqarah. Hatiku berkata, 'beliau akan rukuk pada ayat ke 100'. Namun kemudian beliau melanjutkannya. Hatiku berkata lagi, 'barangkali beliau akan menghabiskan satu surah dan kemudian rukuk. ternyata beliau melanjutkannya dengan menhabiskan surah An Nisaa begitulah perasaanku selalu berkata. Ternyata beliau melanjutkannya dengan surah Ali Imran. tiga surah di atas (yang hampir sama dengan 5,5 juz) dibacanya dengan tartil. jika membaca ayat yang terdapat perintah tasbih beliau bertasbih. jika membaca ayat yang memerintahkan untuk bersoa beliau berdoa. begitu juga jika ayatnya memerintahkan untuk meminta perlindungan, Rasulullah berdoa meminta perlindungan. kemudian beliau rukuk, dan ternyata panjang rukuknya hampir sama dengan lama berdirinya. begitu juga saat i'tidal dan sujud. (HR. Muslim)
Hadis ini tidak hanya ditujukan untuk semata-mata agar kita segera mencoba mempraktikkan apa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW. Namun pelajaran yang bisa diambil adalah jika kita belum tergugah ingin mencoba untuk melaksanakannya , maka bertekadlah untuk melaksanakan hadis di atas, walaupun seumur hidup hanya sekali. Kekuatan dan keteguhan Rasulullah SAW., dalam berdakwah dan berjihad dan memberikan konstribusi untuk islam dan ummatnya, sangat ditentukan oleh kekutan dan keteguhan dalam beribadah kepada Allah SWT. dan beramal saleh dengan semua cabangnya. Untuk dapat mencintai dan berinteraksi dengan Al-qur’an diperlukan mujahadah sebagai berikut: 1) banyak beribadah, khususnya shalat; 2) memperbanyak tilawah; dan 3) bergaul dengan orang-orang yang mencintai Al-qur’an.
Selanjutnya buku ini menjelaskan tentang mendambakan Al-qur’an sebagai kenikmatan seperti kita mendambakan harta. Siapa yang tak ingin rumah mewah, mobil mewah, pekerjaan baik, pokoknya harta berlimpah. Perasaan ini sudah biasa, dan sudah menjadi fitrah sekaligus sebagai fitnah bagi manusia. Sesungguhnya ada hal yang lebih indah dari hanya sekedar kesenangan dunia, yaitu Akhirat. Dimana kekalan hidup didalamnya,,, keimanan yang mampu membimbing kita untuk menuntun kita ke jalan lurus yang diridhoi-Nya. Hadis berikut menjelaskan tentang sejatinya kenikmatan: “tidak boleh iri kecuali dalam dua kenikmatan; seseorang yang diberi Al-qur’an oleh Allah kemudian ia membacanya sepanjang malam dan siang dan ia diberi harta oleh Allah, lalu ia membelanjakannya di jalan Allah sepanjang malam dan siang. – muttafaqun ‘alaih”
Dengan keimanan yang baik tidak saja menjadikan manusia memimpikan kepemilikan dunia tetapi juga memimpikan dan menginginkan akhirat. Dengan iman, seseorang ketika melihat orang lain yang memiliki kelebihan dalam urusan akhiratnya – misalnya sangat baik interaksinya dengan Al-qur’an, mempunyai hafalan yang banyak, rajin beribadah, dan amal saleh lainnya – iapun sangat mendambakannya. Inilah yang disebut oleh Abdul Aziz sebagai ghibthah, yakni menginginkan kenikmatan orang lain tanpa membenci dan hilangnya nikmat dari orang tersebut. Atau dengan istilah lain syu’ur qur’ani (perasaan ingin membangkitkan diri dengan Al-qur’an). beberapa hal yang harus menjadi pertanyaan dalam hidup kita: 1) adakah perasaan iri dalam diri kita ketika kita melihat saudara kita memiliki kemampuan berinteraksi dengan Al-qur’an yang lebih baik? Ataukah diri kita hanya iri dengan menginginkan sesuatu yang terkait dengan harta yang dimiliki oleh saudara kita, tetapi untuk Al-qur’an hati kita adem-ayem saja?; 2)Rasulullah menjanjikan bahwa setiap orang beriman yang bersahabat akrab dengan Al-qur’an dijamin akan mendapatkan syafa’at dari Al-qur’an. sudahkah kita menjadi sahabat akrab Al-qur’an?; 3) kualitas keimanan kita diukur dengan sejauh mana kualitas dan kuantitas interaksi kita dengan Al-qur’an. tanyakan pada diri kita tentang kualitas dan kuantitas hubungan kita dengan Al-qur’an. apakah kita bersikap masa bodoh sehingga tidak merasa sedih jika dalam sebulan tidak dapat khatam Al-qur’an?; 4) pernahkah kita menghitung berapa banyak informasi tentang hal-hal yang bersifat duniawi yang ada di kepala kita dibandingkan dengan informasi tentang hal-hal yang berkaitan dengan Al-qur’an?; 5) Rasulullah menjelaskan bahwa orang tua yang berhasil mendidik anaknya dekat dengan Al-qur’an akan mendapat penghargaan yang sangat tinggi di sisi Allah SWT. sudahkah kita mendidik anak kita dengan Al-qur’an?
Jadi asy-syu’ur qur’ani yang kita inginkan meliputi peningkatan nuansa Al-qur’an dalam diri kita, keluarga kita, masyarakat sampai negara. Tidak terlepas dari sibghah Al-qur’an, sehinga ketika Al-qur’an dijadikan manhajul hayah, tidak saja dirasakan sebagai undang-undang yang mengatur kehidupan manusia, namun juga dirasakan sebagai ruh spiritualitas kehidupan. Itulah contoh kehidupan masyarakat Islam jaman dahulu, sehingga tidak ada dikotomi antara urusan dunia dan urusan akhirat.
mereka itu tidak sama. Di antara ahli kitab itu ada golongan yang berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka juga bersujud (sembahyang). Mereka beriman kepada Allah dan hari akhir, mereka menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar dan bersegera kepada (mengerjakan) pelbagai kebajikan. Mereka itu termasuk orang-orang saleh”. (Qs. Ali Imran: 113-114)
Berinteraksi dengan Al-qur’an sesungguhnya merupakan hasil atau dampak dari sekian banyak amal saleh yang telah kita lakukan. Kemudian antara Al-qur’an dengan berbagai amal saleh itu saling menimbulkan motivasi antara yang satu terhadap yang lain. Sebagaimana amal saleh menumbuhkan semangat berinteraksi dengan Al-qur’an, maka Al-qur’an juga menumbuhkan semangat beramal saleh. Kebiasaan orang-orang yang memiliki kemampuan berinteraksi yang baik dengan Al-qur’an akan melakukan berbagai macam amal saleh, misalnya: 1) mencintai mesjid; 2)banyak berdzikir; 3) berkomitmen dengan shalat wajib dan shalat sunnah; 4) banyak melakukan puasa sunnah; 5) rajin bertilawah.
Yang tak kalah penting setelah semua ikhtiar dilakukan adalah “doa”. “dan Rabbmu berfirman: Berdoalah kepada Ku niscaya kukabulkan untukmu” – Al-Mu’min: 60
Berdoa adalah lambang rasa rendah diri dan ketidakberdayaan manusia dihadapan Allah Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu. Ketika perasaan ini hidup dalam diri orang yang beriman, berarti telah tumbuh pula perasaan ubudiyyah (penghambaan) kepada Allah SWT. dengan berdoa berarti ada harapan bahwa yang diinginkan akan berproses mejadi suatu kenyataan, selama kita jujur kepada Allah SWT. terhadap apa yang kita inginkan. Kitapun akan terjaga dari godaan setan yang sering membisikkannya ke dalam diri kita, bahwa hidup dengan Al-qur’an adalah kesulitan yang tidak dapat ditangani. Atau kita dihinggapi suatu perasaan, seakan-akan kita telah ditakdirkan selamanya untuk tidak akan dapat hidup berinteraksi dengan Al-qur’an. dalam berdoa, perhatikanlah hal-hal berikut: 1) meyakini bahwa doa kita pasti akan dikabulkan oleh Allah SWT. dan kita tidak tergesa-gesa meminta agar doa kita terkabul dalam waktu yang dekat; 2) mencari waktu atau saat-saat yang dijanjikan bahwa doa akan lebih cepat dikabulkan (mustajab); 3)melakukan berbagai macam tawasul atau pendahuluan-pendahuluan doa yang akan mempercepat terkabulnya doa; 4) berdoalah dengan ilhah (terus-menerus dan ngotot); dan 5) jangan lupa untuk mengikuti semua aturan dan adab berdoa. Memulai dengan memuji Allah SWT. sebanyak-banyaknya, bershalawat kepada Rasulullah, menghadap kiblat, dan lain sebagainya.
Begitulah seharusnya kita meraih apa saja yang menurut kita berat, susah, bahkan terkadang seakan kita tidak percaya, mampukah kita melakukannya. Yakinlah, doa akan mengubah berbagai macam yang menurut logika kita mungkin, akan menjadi mungkin dan dimudahkan oleh Allah SWT. untuk meraihnya.
Rasulullah adalah teladan bagi ummatnya. Dalam surah Al-Qalam: 4, “dan sesungguhnya kamu (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung”. Setiap muslim selayakya menjadikan Rasulullah sebagai figur dan siapa yang tak mengenal keteladanan yang dicontohkan oleh Rasulullah. Seorang figur biasanya, memang, adalah orang yang kita cintai, kagumi, ikuti dan teladani. Karena itu figuritas seseorang, dalam kadar tertentu, biasanya sangat bermanfaat untuk menjadi sumber motivasi dan inspirasi dalam meraih suatu keinginan dan lain sebagainya. Mencari figur adalah kiat lain yang kita lakukan untuk menjaga motivasi, namun dalam mencari figur, kitapun harus bersikap manhaji (harus sesuai dengan ilmu yang islami). Untuk itu harus diperhatikan: 1) jangan sampai mempunyai sikap hanya mau beramal saleh jika figurnya berada di sampingnya. Saat figurnya pergi, ditinggallah amal saleh tersebut; 2) tidak boleh mengkultuskan figur; 3)mulailah dengan mencari figur yang terjauh sampai yang terdekat. Figur yang terjauh adalah Rasulullah, kemudian para sahabat, tabi’in, tabi’it tabi’in, dan orang-orang yang saleh setelah mereka; 4) seorang figur bermanfaat hanya sebatas sebagai patokan dalam beramal. Jangan pernah berfigur kepada seseorang dengan mengharapkan secara berlebihan atau berkeinginan menjadi manusia yang persis sama seperti figurnya.
Setiap manusia memiliki target dalam kehidupannya. Hasanah di dunia dan hasanah di akhirat. Seperti firman Allah SWT. dalam surah Al-Baqarah ayat 201: “dan di antara mereka ada yang berdoa: ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan periharalah kami dari siksa api neraka”.
Tak jarang manusia memiliki sikap mengharapkan usahanya berbuah hasil dalam jangka waktu yang singkat. Menharapkan upah segera dalam bekerja, mengharapkan balasan segera setelah beramal saleh. Dalam setiap aktivitas kita, tentunya ada harapan jangka pendek dan jangka panjang. Sejatinya setiap manusia harapan jangka panjangnya adalah akhirat. Dalam mempelajari Al-qur’an, tentunya juga memiliki target jangka pendek dan jangka panjang. Perasaan berat saat mengupayakan diri mendekatkan diri dengan Al-qur’an dengan segala target dan usaha yang harus dillakukan, terkadang kita hanya berdiam diri tidak melakukan apa-apa untuk meningkatkan kemampuannya dalam berinteraksi dengan Al-qur’an. akibatnya sepanjang usia yang Alla SWT. berikan, tidak ada peningkatan kemampuan dalam hal tilawah, baik kualitas maupun kuantitasnya. Begitu juga hafalan yang ia kuasai, dari kecil hingga dewasa, masih seperti semula tidak ada penambahan yang berarti. Untuk mencapai target panjang tersebut, mulailah dari yang terkecil atau yang paling mudah untuk dikuasai. Jika bacaan kita belum benar, maka mulailah dengan membenarkan bacaan terlebih dahulu meski kita harus belajar satu huruf (misal, shad) dalam satu bulan. Kegitan berulang dan ketekunan yang tinggi akan menyelesaikan semua huruf dengan benar. Begitu pula dalam menghafal Al-qur’an 30 juz, jika kita mampu menghafal dalam satu bulan hanya 1 halaman karena menurut kita itu yang mudah dan mampu di jangkau oleh kita dibandingkan dengan orang lain yang dikaruniai oleh Allah kemampuan menghafal 1 halaman dalam 1 hari. Namun bagi kita, kemampuan itulah yang paling pas buat diri kita, dan segera dilakukan. Hal ini dimaksudkan agar kita tidak terbebani oleh perasaan yang berat, tidak mampu dan tidak berbakat. Mungkin perasaan tersebut benar jika untuk menghafal seluruh Al-qur’an; tetapi satu juz dihafal dalam satu tahun? Sesungguhnya, yakinlah, kita memiliki kemampuan. Intinya, niat, usaha, tawakkal, memulainya segera dan meninggalkan keengganan merupakan hal yang harus dipersiapkan untuk memulai aktivitas kita bersama Al-qur’an.
Terkadang saat kita telah memulai dengan aktivitas kita bersama Al-qur’an, kita merasa khawatir terhadap rezeki masa depan kita. Karena rezeki sumber kehidupan bagi manusia. Jangan merasa takut tidak kebagian rezeki. “dan di langit terdapat (sebab-sebab) rezekimu dan terdapat (pula) apayang dijanjikan kepadamu. Maka demi Tuhan langit dan bumi, sesungguhnya yang dijanjikan itu adalah benar-benar (akan terjadi) seperti perkataan yang kamu ucapkan”. (QS. Adz-Dzariyat: 22-23)
Al-qur’an menjelaskan dengan sangat gamblang tentang persoalan rezeki, yaitu:
  1. Rezeki adalah sesuatu yang sudah menjadi kepastian yang telah ditetapkan oleh Allah SWT. sehingga mustahil ada makhluk yang dapat hidup tanpa rezeki yang ditetapkan oleh Allah SWT.
  2. Rezeki tidak akan datang karena kita melakukan berbagai pelanggaran atau masiat kepada Allah SWT. kalau rezeki kita menjadi banyak karena kamaksiatan yang kita lakukan, maka ketahui dan sadarilah bahwa rezeki itu merupakan istidraj (penguluran dari Allah SWT., tetapi kemudian akan dijatuhkan secara sangat menyakitkan dan mungkin, tiba-tiba). “maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka, sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, Maka ketika itu mereka terdiam berputus asa”. (QS. Al-An’am: 44)
  3. Sebaliknya rezeki akan dimudahkan oleh Allah SWT. dengan melakukan berbagai amal saleh dan ketakwaan. “barang siapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberi rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya. Dan barang siapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Seseungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu”. (QS. Ath-Thalaq: 2-3)
  4. Rezeki adalah hak perogratif mutlak Allah SWT. dan urusan manusia hanya berusaha. Sehingga sudah seharusnya jika kita memohon rezeki hanya kepada Allah SWT. semata.
  5. Rezeki adalah sesuatu yang telah ditentukan kadar-kadarnya. Tidak akan terkurangi hanya karena aktif bersama Al-qur’an, atau sebaliknya menjadi bertambah karena kita jauh dari Al-qur’an.
Kaitan antara masalah rezeki dengan aktivitas berinteraksi dengan Al-qur’an seringkali merupakan sesuatu yang dibuat-buat sendiri oleh manusia. Padahal, sesungguhnya kebutuhan dirinya sudah tercukupi. Masalahnya bukan karena tidak kebagian rezeki yang telah menjadi ketetapan Allah SWT., tetapi adalah minimnya sifat zuhud dan qonaah yang ada pada dirinya.
Keistiqomahan merupakan hal yang diperlukan untuk tetap terus pada tujuan utama dalam menghafal Al-qur’an. Istiqomah memiliki hubungan yang erat dengan istighfar dan saling mempengaruhi satu sama lain. “ maka tetaplah pada jalan yang lurus menuju kepada-Nya dan mohonlah ampun kepada-Nya”. (QS. Fushilat: 6) dalam berinteraksi dengan Al-Qur’an, khususnya interaksi dalam bentuk menghafal, sering ada gangguan sehingga mudah berubah pikiran. Agar pikiran kita tidak mudah berubah dan tetap memiliki keinginan yang terus hidup, diperlukan berbagai kiat berikut: 1) banyak berdoa kepada Allah SWT. agar ia menetapkan dan meneguhkan hati kita; 2) menjaga dan memelihara lingkungan pergaulan di mana kita hidup; 3) membaca secara terus-menerus semua hal yang berkaitan dengan: berbagai fadilah dalam berinteraksi dengan Al-Qur’an, sejarah manusia-manusia yang sukses hidupnya bersama Al-Qur’an.
Selain istiqomah dan doa, juga diperlukan latihan. Berlatih dengan “ekstrim” agar mengupayakan segala hal yang menurut kemampuan kita terasa berat, namun sesungguhnya berbagai upaya tersebut sudah lama didengungkan oleh Al-Qur’an dan dilaksanakan oleh salafushshalih. Karena iman kita yang lemah, upaya-upaya tersebut seakan-akan sudah tidak mungkin lagi kita laksanakan. Untuk dapat melaksanakannya kita harus berusaha dengan keras. Adapun beberapa contoh yang pernah dilakukan adalah: 1)melakukan shalat malam dengan pelaksanaan yang panjang – sebagaimana disebutkan dalam hadis sebelumnya; 2) berjihad di jalan Allah SWT., walaupun kondisinya sudah sangat tua; 3) mengubah suasana permusuhan, antara dirinya dengan saudaranya, menjadi persahabatan yang penuh keakraban dan kehangatan. Serta membalas setiap kejahatan saudaranya dengan kebaikan.; 4) menjaga pandangan mata di mana saja dan kapan saja, terhadap lawan jenis yang bukan mahramnya. Dan masih banyak lagi latihan yang dapat dilakukan untuk membiasakan diri berinteraksi dengan Al-Qur’an.
Bentuk motivasi yang juga di jelaskan dalam buku ini adalah tentang  berbahagia bersama orang-orang yang sedikit. “dan orang-orang yang dahulu (beriman), merekalah yang paling dahulu (masuk surga). Mereka itulah yang didekatkan kepada Allah. Derada dalam jannah kenikmatan. Segolongan besar dari orang-orang yang terdahulu. Dan segolongan sedikit dari orang-orang generasi terakhir”. (QS. Al-Waqi’ah: 10-14)
Kata qalil (sedikit), dalam banyak ayat Al-Qur’an selalu menunjukkan sekelompok manusia yang berkualitas, dan orang-orang yang memiliki kemauan kuat dan keras untuk meningkatkan kualitas hidup. Orang-orang yang bersegera untuk melakukan amal saleh, jumlahnya memang sedikit. Kita tidak boleh terpengaruh oleh banyaknya (kuantitas) manusia yang tidak tertarik melakukan amal saleh tersebut. Teguhkanllah diri kita bahwa amal saleh ini adalah sesuatu yang sangat dicintai oleh Allah SWT. Renungkanlah beberapa terjemahan ayat berikut:
dan tidak beriman bersama dengan Nuh itu kecuali sedikit”. (QS. Hud: 40)
bekerjalah hai keluarga Daud untuk bersyukur (kepada Allah). Dan sedikit sekali dari hamba-hamba Ku yang besryukur (berterima kasih)”. (QS. Saba: 34)
 Dan masih banyak lagi ayat yang menjelaskan tentang “kelompok yang sedikit”. Dibalik berat dan banyaknya tantangan untuk melakasanakan niat di atas, sesungguhnya kenyataan di lapangan kehidupan menunjukkan bahwa memang sangat sedikit orang yang siap berkorban untuk menggapai niat mulia tersebut (red. Menghafal). Menyadari realita tersebut maka kita harus memiliki sifat yang sabar, teguh, tidak mudah putus asa. Apa yang akan kita raih itu sesungguhnya merupakan sesuatu yang besar dan berat perjuangannya, dan tidak semua manusia siap melakukannya. Dengan demikian, sejak awal melangkah dan seterusnya, kita tidak boleh melupakan hakikat ini.
Kekhawatiran akan selalu dibisikkan ketika kita mulai intens berinteraksi dengan Al-Qur’an apalagi saat mulai menghafalnya. Ada saja yang membuat kita ragu untuk meneruskan, terlebih ketika kita berpikir tentang masa depan yang belum kita ketahui. Rasa was-was inilah yang mampu mengendorkan semangat kita. hal ini mungkin karena mengambangnya visi dan misi, serta tidak memahami bobot manfaat dari hafalan Al-Qur’an yang kita dapatkan. Bisa juga hal ini dikarenakan, tanpa disadari perasaan kita telah digelayuti oleh kecintaan yang berlebihan terhadap dunia. Apalagi ketika paradigma masyarakat sekarang mengukur kesuksesan dengan uang dan materi yang banyak. Padahal menjadi sunnatullah, sebagian yang lain dilebihkan rezekinya dan sebagian yang lain dikurangi rezekinya. “apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antar penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meinggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan”. (QS. Az-Zukruf: 32) yang terpenting dalam memahami rezeki Allah SWT. adalah: “melakukan bebagai macam upaya yang halal untuk meraihnya, lalu bertawakkal kepada-Nya”.
Beberapa prinsip yang perlu dipegang agar kekhawatiran kita terhadap dunia tidak berlebihan adalah: 1) yakinlah terhadap janji-janji Allah SWT., kepada manusia yang senantiasa taat kepada-Nya dan istiqomah di jalan-Nya, bahwa Allah SWT., telah memberi garansi kehidupan yang bahagia dan aman di dunia dan akhirat; 2) mantapkan keyakinan bahwa kita menghafal Al-Qur’an dengan satu cita-cita, yakni berdakwah di jalan Allah SWT.; 3) berpikirlah untuk mencari maisyah yang sesuai dengan kondisi kita, yakni yang dapat memadukan antara mencari rezeki dan melayani umat; 4) bersikaplah qanaah terhadap rezeki Allah SWT., bersih dari sikap hubbud dunya yang berlebihan dan sikap rakus (tetap merasa tidak puas berapa banyakpun rezeki yang sudah di dapatkan; 5) memahami dengan baik hakikat ujian kehidupan dalam masalah rezeki. Artinya tidak setiap rezeki yang luas dan banyak yang didapatkan dan dirasakan oleh manusia berarti pasti menunjukkan kasih sayang Allah SWT. kepadanya. Demikian pula sebaliknya, tidak setiap rezeki yang terbatas merupakan pertanda kebencian Allah SWT. terhadap manusia.
Tidak hanya kehawatiran kita terhadap masa depan yang menjadi peruntuh motivasi kita dalam menghafal Al-Qur’an. secara internal, sikap memvonis diri yang merasa diri tidak berbakat, sibuk, ditakdirkan tidak mampu menghafal merupakan sugesti yang memberikan energi negatif terhadap diri kita dan menjadikan kita pada kondisi kelemahan total yang “mematikan” ketika vonis-vonis ini masuk ke alam bawah sadar kita. berbakat atau tidak bukan menjadi kendala, tapi berinteraksi dengan Al-Qur’an adalah kebutuhan bagi orang yang beriman. Demikian pula dengan kesibukan, jika kesibukan menjadi alasan untuk enggan berinteraksi dengan Al-Qur’an, sesungghunya Allah SWT. menciptakan manusia dengan dibekali kemampuan yang sangat luar biasa untuk bisa beradaptasi terhadap kehidupan ini. Kita mampu melakukan aktivitas yang berhubungan dengan dunia hampir di sebagian besar waktu yang kita miliki. Artinya, jika kita menganggap Al-Qur’an merupakan sesuatu yang penting untuk diri kita, maka kita akan memaksimalkan usaha untuk menghadirkan Al-Qur’an disetiap hari di antara beberapa kegiatan sehari-hari kita. Mengkambing hitamkan takdir juga bukan hal yang bijak. Takdir merupakan hak perogratif yang dimiliki Allah SWT. Lantas dari mana  kita tahu bahwa Allah SWT. menghendaki kita tidak mampu berinteraksi dengan Al-Qur’an? sementara Al-Qur’an diturunkan untuk dikonsumsi manusia, sebagai petunjuk. Jika perasaan kita selalu mengatakan ketidakmampuan kita adalah takdir, maka itu namanya kita berburuk sangka kepada Allah SWT. Segala sesuatu yang baik berasal dari Allah, dan yang buruk berasal dari setan dan diri kita sendiri. Maka perbanyaklah berdzikir, beramal saleh, agar Allah memberi kekuatan kepada diri kita untuk bisa mengatasi rasa malas, futur, dan tidak bergairah bersama Al-Qur’an.
Bersikaplah optimis dan mengubah pola pikir negatif menjadi positif agar menghasilkan bantahan dan kita mampu melepaskan diri dari kungkungan ketidak-berdayaan diri yang telah kita buat sendiri, yang sesungguhnya kitapun bisa membuat hal yang sebaliknya.
Perhatikan ketika Allah SWT. menyeru kepada hambanya “hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama’ah hamaba-hamba-Ku. Masuklah ke dalam surga-Ku”. (QS. Al-Fajr: 27-30)
Begitulah cara Allah merayu hamba-Nya dengan cara yang lembut namun provokatif. Siapa yang tak inginkan ridha-Nya? Begitu pula lah kita hendaknya, merayu diri kita dengan kalimat-kalimat lembut yang provokatif yang mampu memberikan energi untuk kembali bekerja: meraih cita-cita hidup bersama Al-Qur’an. Dengan cara ini, kita mampu membuat perenungan atas apa yang telah kita lakukan dan apa yang akan kita lakukan untuk mencapai tujuan utama kita.
Demikianlah sedikit ulasan singkat tentang buku ini. Semoga bermanfaat.

Ditulis kembali oleh Khusnul Khotimah, http://nurinainistikmalia.blogspot.com

2 komentar:

jumriah | 31 Maret 2012 pukul 11.19

asssl. salimah.. kalo boleh usul pada tampilan slide show tampilkan kegiatan2 salimah bulungan..
jazakillah..
jumriah

insidewinme | 1 April 2012 pukul 08.31

Ketika Rasulullah Saw. menantang berbagai keyakinan bathil dan pemikiran rusak kaum musyrikin Mekkah dengan Islam, Beliau dan para Sahabat ra. menghadapi kesukaran dari tangan-tangan kuffar. Tapi Beliau menjalani berbagai kesulitan itu dengan keteguhan dan meneruskan pekerjaannya.