Semakin kita sering
menganggap diri penuh jasa dan penuh kebaikan pada orang lain, apalagi
menginginkan orang lain tahu akan jasa dan kebaikan diri kita, lalu berharap
agar orang lain menghargai, memuji, dan membalasnya maka semua ini berarti kita
sedang membangun penjara untuk diri sendiri dan sedang mempersiapkan diri
mengarungi samudera kekecewaan dan sakit hati.
Ketahuilah bahwa
semakin banyak kita berharap sesuatu dari selain Allah SWT, maka semakin banyak
kita akan mengalami kekecewaan. Karena, tiada sesuatu apapun yang dapat terjadi
tanpa ijin Allah. Sesudah mati-matian berharap dihargai makhluk dan Allah tidak
menggerakkan orang untuk menghargai, maka hati ini akan terluka dan terkecewakan
karena kita terlalu banyak berharap kepada makhluk. Belum lagi kerugian di
akhirat karena amal yang dilakukan berarti tidak tulus dan tidak ikhlas, yaitu
beramal bukan karena Allah.
Selayaknya kita
menyadari bahwa yang namanya jasa atau kebaikan kita terhadap orang lain,
sesungguhnya bukanlah kita berjasa melainkan Allah-lah yang berbuat, dan kita
dipilih menjadi jalan kebaikan Allah itu berwujud. Sesungguhnya terpilih menjadi
jalan saja sudah lebih dari cukup karena andaikata Allah menghendaki kebaikan
itu terwujud melalui orang lain maka kita tidak akan mendapat
ganjarannya.
Jadi, ketika ada
seseorang yang sakit, lalu sembuh berkat usaha seorang dokter. Maka, seberulnya
bukan dokter yang menyembuhkan pasien tersebut, melainkan Allah-lah yang
menyembuhkan, dan sang dokter dipilih menjadi jalan. Seharusnya dokter sangat
berterima kasih kepada sang pasien karena selain telah menjadi ladang pahala
untuk mengamalkan ilmunya, juga telah menjadi jalan rizki dari Allah baginya.
Namun, andaikata sang dokter menjadi merasa hebat karena jasanya, serta sangat
menuntut penghormatan dan balas jasa yang berlebihan maka selain memperlihatkan
kebodohan dan kekurangan imannya juga semakin tampak rendah mutu kepribadiannya
(seperti yang kita maklumi orang yang tulus dan rendah hati selalu bernilai
tinggi dan penuh pesona). Selain itu, di akhirat nanti niscaya akan termasuk
orang yang merugi karena tidak beroleh pahala ganjaran.
Juga, tidak
selayaknya seorang ibu menceritakan jasanya mulai dari mengandung, melahirkan,
mendidik, membiayai, dan lain-lain semata-mata untuk membuat sang anak merasa
berhutang budi. Apalagi jika dilakukan secara emosional dan proporsional kepada
anak-anaknya, karena hal tersebut tidak menolong mengangkat wibawa sang ibu
bahkan bisa jadi yang terjadi adalah sebaliknya. Karena sesungguhnya sang anak
sama sekali tidak memesan untuk dilahirkan oleh ibu, juga semua yang ibunya
lakukan itu adalah sudah menjadi kewajiban seorang ibu.
Percayalah bahwa
kemuliaan dan kehormatan serta kewibawaan aeorang ibu/bapak justru akan
bersinar-sinar seiring dengan ketulusan ibu menjalani tugas ini dengan baik,
Insya Allah. Allah-lah yang akan menghujamkan rasa cinta di hati anak-anak dan
menuntunnya untuk sanggup berbalas budi.
Seorang guru juga
harus bisa menahan diri dari ujub dan merasa berjasa kepada murid-muridnya.
Karena memang kewajiban guru untuk mengajar dengan baik dan tulus. Dan memang
itulah rizki bagi seseorang yang ditakdirkan menjadi guru. Karena setiap
kebaikan yang dilakukan muridnya berkah dari tuntunan sang guru akan menjadi
ganjaran tiada terputus dan dapat menjadi bekal penting untuk akhirat. Kita
boleh bercerita tentang suka duka dan keutamaan mengajar dengan niat bersyukur
bukan ujub dan takabur.
Perlu lebih
hati-hati menjaga lintasan hati dan lebih menahan diri andaikata ada salah
seorang murid kita yang sukses, jadi orang besar. Biasanya akan sangat gatal
untuk mengumumkan kepada siapapun tentang jasanya sebagai gurunya plus kadang
dengan bumbu penyedap cerita yang kalau tidak pada tempatnya akan
menggelincirkan diri dalam riya dan dosa.
Andaikata ada
sebuah mobil yang mogok lalu kita membantu mendorongnya sehingga mesinnya hidup
dan bisa jalan dengan baik. Namun ternyata sang supir sama sekali tidak
berterima kasih. Jangankan membalas jasa, bahkan menengok ke arah kita pun tidak
sama sekali.. andaikata kita merasa kecewa dan dirugikan lalu dilanjutkan dengan
acara menggerutu, menyumpahi, lalu menyesali diri plus memaki sang supir. Maka
lengkaplah kerugiannya lahir maupun batin. Dan tentu saja amal pun jadi tidak
berpahala dalam pandangan Allah karena tidak ikhlas, yaitu hanya berharap
balasan dari makhluk.
Seharusnya yang
kita yakini sebagai rizki dan keberuntungan kita adalah takdir diri ini
diijinkan Allah bisa mendorong mobil. Silahkan bayangkan andaikata ada mobil
yang mogok dan kita tidak mengetahuinya atau kita sedang sakit tidak berdaya,
niscaya kita tidak mendapat kesempatan beramal dengan mendorong mobil. Atau diri
ini sedang sehat perkasa tapi mobil tidak ada yang mogok, lalu kita akan
mendorong apa?
Takdir mendorong
mobil adalah investasi besar, yakni kalau dilaksanakan penuh dengan ketulusan
niscaya Allah yang Maha Melihat akan membalasnya dengan balasan yang
mengesankan. Bukankah kita tidak tahu kapan kita akan mendapatkan kesulitan di
perjalanan, maka takdir beramal adalah investasi.
Mari kita
bersungguh-sungguh untuk terus berbuat amal kebajikan sebanyak mungkin dan
sesegera mungkin. Setelah itu mari kita lupakan seakan kita tidak pernah
melakukannya, cukuplah Allah yang Maha Melihat saja yang mengetahuinya. Allah
SWT pasti menyaksikannya dengan sempurna dan membalasnya dengan balasan yang
sangat tepat baik waktu, bentuk, ataupun momentumnya. Salah satu ciri orang yang
ikhlas menurut Imam Ali adalah senang menyembunyikan amalannya bagai
menyembunyikan aib-aibnya.
Selamat berbahagia
bagi siapapun yang paling gemar beramal dan paling cepat melupakan jasa dan
kebaikan dirinya, percayalah hidup ini akan jauh lebih nikmat, lebih ringan, dan
lebih indah. Insya Allah.***
K.H.
Abdullah Gymnastiar
0 komentar:
Posting Komentar