Kita, di Atas Kemampuan Kita


 Seorang buruh pabrik, Anita namanya, di hari itu mendapatkan kejutan dari salah seorang rekannya. 


"Mbak Nita, Bu Juju menawarkan agar Mbak keluar dari pabrik dan menerima tawaran Bu Juju untuk menjadi marketing di toko rotinya. Bagaimana Mbak?"

"Apa iya saya pantas Mbak? saya sudah lama tidak menekuni bisnis roti lagi. Apalagi, toko roti Bu Juju kan sudah punya brand. Saya takut, mengecewakan"

"Saya yakin, dengan kemampuan Mbak, Mbak pasti bisa"

"Tapi...ehm... saya masih belum yakin soal itu..."

Kita, seperti juga Anita di hari itu, tentu pernah merasakan hal yang sama. Perasaan gelisah yang mewabah pada kepercayaan. Ya, kepercayaan tentang sebatas apa kemampuan kita yang sesungguhnya. 

Kita, seperti juga Anita di hari itu, seringkali tak lagi mengindahkan kesempatan. Kita melewatkannya sebab kita sendiripun hidup dipenuhi keraguan dan ketidakyakinan. Lagi-lagi, bimbang terhadap kemampuan.

Sebagian dari diri kita juga acapkali berangan-angan panjang tentang kejayaan masa lalu. 

"Dulu, aku mampu berbuat ini ... dulu aku mampu begini ... dulu aku mampu begitu ..." 

Tanpa menyadari bahwa nostalgia terhadap yang lalu itu adalah sebahagian tanda bahwa sesungguhnya, saat inipun kita dapat melakukannya. Sebesar atau bahkan lebih besar dari yang lalu. Seperti bayi kecil yang dahulunya merangkak lalu berlari. Apakah kini setelah dewasa, ia tak lagi bisa merangkak? tentu saja bisa. Bayi kecil yang kini telah dewasa, bahkan mampu mengulang semua hal yang pernah dilakukannya saat masih bayi, dengan jauh lebih sempurna.


Seekor gajah, sebesar apapun ia
Takkan pernah mampu melihat bokongnya.
Seekor buaya, seganas apapun ia
Takkan pernah mampu melihat punggungnya
Manusia, secerdik apapun ia
Takkan pernah mampu melihat kemampuannya
Karena itulah, kita selalu membutuhkan cermin. Sebab, bagaimanapun adakalanya kita tak mampu mengukur kemampuan kita secara benar. Kita membutuhkan cermin yang memberikan pantulan informasi tentang apa yang luput dari pandangan, dan apa yang tak dapat dijangkau oleh panca indera kita yang lain. Jika kita membutuhkan cermin -dalam arti yang sesungguhnya- untuk berhias, merapikan pakaian yang kita kenakan dan untuk melihat sesuatu yang tak tampak seperti kotoran yang menempel di telinga atau debu yang masuk ke dalam mata. Maka, kita juga membutuhkan cermin untuk melihat kemampuan diri kita yang sesungguhnya. Cermin tersebut adalah orang lain. Orang-orang yang selalu membersamai kita, mereka yang senantiasa turut bergembira atas pencapaian kesuksesan kita, mereka yang senantiasa memberikan afirmasi positif agar kebaikan selalu melimpah atas diri-diri kita, mereka yang peduli pada perbaikan diri kita dan mereka yang selalu bergairah agar kita senantiasa bergerak maju. 

Maka, seperti kepercayaan penuh kita pada penilaian kerapian dan kecantikan saat berhias di depan cermin. Seharusnya seperti itulah, kepercayaan kita pada cermin 'orang lain' yang suatu saat mungkin akan berkata. 

"Aku percaya pada kemampuanmu memegang amanah ini"

Atau ketika dengan tiba-tiba dan tanpa disangka, sang cermin 'orang lain' memilih kita, untuk melakukan sesuatu yang besar. 

Percayalah, mereka telah dengan sangat teliti, melihat apa yang selama ini luput. 

Itulah ia, 

kemampuan kita pada hakekatnya. 


Wallohu a'lam bishshowab, 




Diterbitkan oleh: Divisi Humas PD Salimah Kab. Bulungan.
Boleh di copy dengan menyebutkan sumbernya. 


Gambar dipinjam dari google

0 komentar: