Rasulullah Mengajarkan Untuk Memukul Anak


         Seorang ibu, sebut saja Anna tiba-tiba berteriak dengan kencang saat melihat Tyas anak semata wayangnya penuh lumpur terjerembap dalam kubangan di depan rumah. “Sudah ibu bilang, jangan keluar rumah, kamu kan sudah ibu mandiin, bajunya aja baru ganti, kenapa sih gak pernah mau nurut kalau dikasih tahu, kupingmu itu ditaruh mana?”, Anna terus saja mengomel sambil memukul pantat Tyas berkali-kali. “Rasain, ini akibatnya kalau jadi anak nakal”, samar-samar diantara
lengkingan tangis Tyas masih sempat-sempatnya Anna mencubit lengan Tyas dua kali.

         Begitulah, seringkali kita bertindak seperti Anna saat menghadapi sikap anak yang kita anggap bandel, nakal ataupun tidak patuh. Bahkan bisa jadi, apa yang Anna lakukan masih jauh lebih lembut dari yang kita perbuat.

          Dalam pendidikan islam pun, Rasulullah dalam sebuah haditsnya menganjurkan untuk bersikap keras yakni memukul anak saat anak telah berumur 10 tahun namun enggan melaksanakan shalat.  
“Perintahkanlah anak untuk shalat ketika telah mencapai usia tujuh tahun. Dan bila telah berusia sepuluh tahun, pukullah dia bila enggan menunaikannya.” (HR. Abu Dawud no. 494, dan dikatakan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud: hasan shahih).  
Dalam hal ini, Rasulullah memerintahkan orang tua  memukul anak bukan untuk menyakiti si anak, melainkan untuk mendidik dan meluruskan mereka. (Syarh Riyadhish Shalihin, Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, 2/123-124). Sehingga tidak diperkenankan seorang ayah atau ibu memukul anaknya dengan pukulan yang melukai, tidak boleh pula pukulan yang bertubi-tubi tanpa ada keperluan, dan tidak boleh memukul di bagian wajah atau organ vital tubuh yang lain. Pukulan yang diberikan kepada anak hendaknya adalah pukulan lembut yang benar-benar tidak menyakitkan tanpa disertai kemarahan. Sedangkan memberi nasihat adalah langkah yang paling baik. 

Lalu bagaimanakah pukulan keras seperti yang dilakukan Anna? Memukul anak sebagai hukuman di tambah perkataan “rasain, ini akibatnya kalau jadi anak nakal” bukanlah sebuah tindakan tepat dan bukanlah anjuran dari Rasulullah. Selain pukulan ini menyakiti anak, pukulan seperti ini hanya akan membuat trauma, menjatuhkan harga diri anak  dan  bukan tidak mungkin, anak malah merasa dirinya jelek atau jahat.
Jangan Samakan Anak
Seringkali kemarahan orangtua timbul karena mereka selalu menganggap apa yang ia fikirkan sama dengan apa yang anak fikirkan. Jika orangtua berfokus pada kebersihan dan kerapian sehingga menjadi begitu emosional saat melihat anak dalam keadaan kotor padahal baru saja dimandikan. Ketahuilah, itu orangtua, anak tidak pernah berfokus pada itu. Seorang anak tidak peduli pada pakaian dan apa yang ia kenakan. Seorang anak hanya peduli pada sesuatu yang baru ia kenal, sesuatu yang membuatnya penasaran, dan disitulah ia belajar. 

Sehingga, pemberian gelar ‘nakal’pada anak seringkali tidak tepat. Anak yang berlarian, anak yang menghamburkan mainan, anak yang tidak bisa diam sejatinya bukanlah anak ‘nakal’, ia adalah anak yang sedang terus belajar. Anak bukanlah orang tua yang harus duduk manis, diam, rapi dan selalu bersih. 

Dan jika hari ini, sebagai ibu kita masih berperilaku seperti Anna, maka ketika ingin marah atau menyakiti anak dengan memukulnya, berkatalah dalam hati, “betapa sedih hatiku jika berpisah dengan anakku, maka saat bersamanya aku berjanji tidak akan menyakitinya, insyaalloh”.   

sumber: Buletin Salimah Bulungan Edisi I, Mei 2012

0 komentar: