-Satu sepatu sebelah kanan saja tidak berarti
Satu sepatu sebelah kiri saja apalagi
Sebab untuk dapat berbagi
Butuh konspirasi-
"Dek, kenapa sih, setiap aku bilang A, kamu selalu saja maunya B...."
"Kenapa kalau aku mau B, mas selalu memaksakan A?"
Sepatu kanan dan sepatu kiri tidak pernah akan sama dalam bentuk, lihatlah masing-masing telah memiliki bentuknya, ciri khasnya serta keelokannya. Adalah sebuah keindahan saat mereka disandingkan untuk senantiasa bersama. Seperti itulah cinta. Cinta memang menyatukan perbedaan, dan bukan sebaliknya. Tidak ada gunanya sepasang sepatu sebelah kanan. Sama tidak bergunanya dengan sepasang sepatu sebelah kiri saja. Itulah alasan mengapa 'si pemarah' selalu cocok hidup dengan 'si sabar', sedangkan 'si pendiam' terlihat sangat romantis bersanding dengan 'si cerewet'.
"Ayah, kalau habis mandi itu handuknya dikembalikan lagi ditempatnya. Ya ampun, itu piring bekas makan tolong langsung dicuci. Berapa kali sih harus bunda kasih tahu kalau baju kotor itu jangan ditaruh di atas kasur, bau keringatnya ntar nempel........"
Sepasang sepatu memang terlahir berbeda. Saat dikenakan di dua telapak kaki, bagaimana jadinya jika masing-masing sepatu selalu ingin melangkah bersamaan? mirip vampir berjalan, lucu sekali dan sangat tidak nyaman. Melangkah bersamaan hanya akan mempercepat kelelahan, dan mempercepat kemungkinan untuk berhenti sebelum sampai di tempat tujuan. Karenanya, salah satu sepatu sesekali haruslah mengalah saat sepatu yang lain berjalan di depan, begitupun saat salah satu sepatu ingin bergerak lebih cepat maka sepatu yang lain harus segera mengatur jarak agar senantiasa bersesuaian.
"Mas, lihat apaan sih?"
"Mas seneng lihat perempuan-perempuan berjilbab seperti yang disana..."
"Yang mana? kayak mbak-mbak yang pakai baju kedodoran sama jilbab segede mukena itu ya?"
"He eh.."
"Jadi mas gak suka sama pakaian Lina sekarang?"
"Suka, tapi lebih suka kalau baju Lina kayak mbak yang itu tuh..."
"Idih mas, apaan sih...."
"Apalagi....ehm...kalau pakai cadar......"
"Ha?..."
Hari itu, Lina tak henti-hentinya berkaca. Sudah lebih dari sepuluh kali, pakaian terusan panjang yang menutupi badannya ini dipakai-dilepas dan kemudian dipakai lagi. "Pede tidak ya pakai kerudung seperti ini?", batinnya dalam hati sambil terus memegangi secarik kain panjang berwarna gelap untuk menutupi kepala dan wajahnya.
Sepasang sepatu yang telah mampu merenyahkan sedikit ego untuk berkonspirasi akan senantiasa beriring meski kadang tak sepadu dalam ayunan langkah. Masing-masing akan saling menguatkan, saling berupaya mewujudkan kesenangan pasangan. Impian kebahagiaan sejatinya bukan lagi hanya untuk dirinya, melainkan untuk Ia dan pasangannya.
“Bu, anakmu ini kalau sampe habis semester ini gak naik kelas lagi, aku sudah gak mau anter jemput. Wes terserah, aku sudah bener-bener malu, mosok dua tahun sekolah gak bisa naik-naik kelas..”, Bu Ida yang sedang curhat pada Bu Isti nampak dengan sempurna menirukan kalimat suaminya.
“Iya itu Bu Isti, rasanya gimana gitu dengar Bapaknya Tyo ngomong keras begitu. Pengen balik tak maki-maki, mbok ya dia itu ngaca, punya anak seperti Tyo itu lah nurun siapa kalau gak dari bapaknya. Lha wong bapaknya aja gak tamat SD, buta huruf gak bisa baca tulis....”
Perjalanan masih panjang. Langkah demi langkah sepasang sepatu tidak akan begitu saja mudah. Ada kerikil yang siap membuat kaki tersandung, jalanan berkelok nan curam yang setiap saat bisa merobek-robek kain sepatu, semakin lama semakin terasa melelahkan.
Sepasang sepatu kini nampak semakin kotor dan usang.
“Kita masih belum sampai sayang......”, sepatu sebelah kanan nampak berbisik pada sepatu sebelah kiri.
“Iya, dan aku masih disini, berdiri setia disisimu, sampai akhir tempat tujuan kita nanti...”, sepatu sebelah kiri mendekat dan merebahkan dirinya tepat didekat tumit sepatu kanan.
Oleh: Nurin Ainistikmalia
Oleh: Nurin Ainistikmalia
Gambar dipinjam dari sini
0 komentar:
Posting Komentar